إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا،
من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا
شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أما بعد
Inilah
kuburan yang benar-benar syar’i dan dicontohkan sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah.
Tanpa dibangun / dikeramik, ditulisi, ditinggikan kecuali hanya sejengkal, dan
tanpa disembah atau diagungkan. Mudah-mudahan calon rumah kita seperti ini semua,
tidak seperti kebanyakan kuburan yang ada di sekeliling kita.
Padahal
kuburan yang ada di foto ini adalah kuburannya orang-orang yang memiliki keutamaan di
sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum di Baqi’,
Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari kuburannya di tempat kita. Seperti inilah yang dapat membuat Islam bertambah
Kejayaannya. Subhanallah
Dari
Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:
أَلَا
أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا
إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Maukah
kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus
dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim
no. 969)
Fadhalah
bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا
“Saya
telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)
Dari
Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ
وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan
membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)
Al-Imam
At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan
lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan:
“Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang
dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu
kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya…
termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun
dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau
kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal
tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi
berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan
dibangun atau dicat’.”
Beliau
rahimahullahu juga berkata:
“Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
“Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh
Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata:
“Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
“Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”
Dari
Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa
Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan
diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu
jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi
III/410, hadits ini sanadnya hasan)
Dari
Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku
melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti
punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul
Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang
merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam
kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal
tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang
ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai,
kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk.
Wallahu a’lam.
“Kuburan
Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini.
Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?
Jawabannya:
…Keadaan
yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada
jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya
yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada
pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.
Hal
ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada
pertentangan
diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar
nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai
tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah
dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan
mereka. Pada tahun
88
Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan
memperluas
masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area
masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih
hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan
oleh sebagian manusia.
Al
Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky:
“Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik,
setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang
meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang
meninggal pada tahun 78
Hijriah.
Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86
Hijriah,
dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik
beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.
Abu
Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya
Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada
tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan
batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik
istri-istri Nabi saw dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti
kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari
penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari
masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini
ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah di
dalam biliknya.
Maka
setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan
sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini
bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para
sahabat serta pendapat para imam.
Hal
ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika
meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau
ke dalam masjid.
Maka
dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak
untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga
tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab pernah mengisyaratkan segi
kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi
lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk
berbuat
seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu
memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.
Karena
tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka
orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid
Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi
menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan
tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya
jumlah
kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin,
termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah dan juga kuburan dua
sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka
membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar.
Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan
orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak
terseret pada hal-hal yang
dilarang.
Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika
bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka
pintunya
di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk
acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”
Dapat
kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak
berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah menjulang tinggi
berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari
bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh
orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami
berkunjung kesana, kami lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab
kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat
dibelakang kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme
yang sangat mencolok ini
dibiarkan
begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?
Namun
begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak meliahat seorangpun
mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana
mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan
suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini
merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi
ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini
sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya
masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir
pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari uatara
ke
selatan.
Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam
pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa yakin, ini merupakan
kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar.
Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau
sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak
dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”
[Oleh
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari
Buku
"Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83]
19.37
Share:
[-(
BalasHapus