Diberdayakan oleh Blogger.

AL-Qur'an Dan AL-Hadist

IP

Wikipedia

Hasil penelusuran

Membaca Al-Qur'an Online

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Konten/artikel apa yang paling kamu suka ?

buku tamu

Hamster GDC

PINGUIN GDC

Tambak lele GDC

Kura-kura GDC

Laporan cuaca

Text Widget

Sample Text

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Pengikut

Pengunjung

Flag Counter

Pages

Blogroll

Blogger templates


Sabtu, 27 April 2013




 

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسولهأما بعد



     Dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadist manapun, tidak dijumpai hukum hukum yang membahas secara langsung masalah pacaran. Namun, Kalau membahas masalah Zina di Al-Qur'an maupun Al-Hadist pasti ada. Tapi taukah kamu bahwa PACARAN itu sama dengan ZINA?.......Nah lo....!!!!!

Perhatikan sabda Nabi ini :
"sesungguhnya Allah telah menulis bagian zina untuk Anak Adam, mau tidak mau (pasti) ia akan menjumpainya. Maka zinalah kedua matanya dengan pandangannya, dan zina lisannya dengan ucapannya, dan zinalah hatinya dengan mengangan angankannya, lalu Farjilah yang membenarkan dengan zina itu" (HR. Abu Daud)

     Kalau kita lebih memahami lagi tentang Hadist ini, maka terdapat suatu kesimpulan bahwa terjadinya Zina Haq (farji) berawal dari proses zina mata, mulut, dan telinga. kenapa? karena manusia bukanlah hewan. Hewan bisa melakukan zina tanpa harus proses pendekatan yang berarti. Namun, manusai membutuhkan itu. Manusia membutuhkan proses untuk bisa melakukan apa yang menjadi keinginannya, dan proses itulah yang dinamakan "PACARAN".

So, dalam konteks apakah orang mudah melakuakn zina mata, mulut, dan telinga?

Pernah melihat orang pacaran? . . .
atau mungkin anda pernah pacaran?. . .
Mampukah orang yang pacaran itu membatasi pandangannya untuk tidak melihat, mulutnya untuk tidak berbicara, telinganya untuk tidak mendengar?. . .
Apakah mereka mampu bertahan lama jika hanya diam membisu tanpa berbicara dengan pasangannya? . . .
apakah dinamakan PACARAN jika hanya membelakangi pasangannya tanpa memandang satu sama lainnya?. . .
Saya rasa itu hal yang sangat mustahil dilakukan oleh dua sejoli (tanpa ada hubungan Mahrom) ketika menjalin asmara. Bagaimanapun mereka PASTI melakukan apa yang menjadi larangan itu. kenapa? . . .
karena yang menjadi "Sutradara" diantara keduanya adalah Syaithon Laknat Jahannam, perhatikan Hadist dibawah ini :

"barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyepi dengan perempuan yang tidak bersama Mahromnya, kecuali yang ketiganya adalah Syaithon" (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdillah.)

Saudaraku sekalian, kita yang sudah diberi keimanan oleh Allah dituntut untuk menetapi agama Islam ini dengan segala hukum hukumnya secara Kaffah (semua). Tidaklah pantas bagi kita mencari alasan untuk menghalalkan sesuatu yang telah diharomkan oleh Allah, yaitu MENGHALALKAN ZINA DENGAN BERDALIH PACARAN.
"yang dilarang kan zina bukan pacaran, dan setahu saya dalam Al-Qur'an maupun dalam Al-Hadist tidak ada larangan pacaran. Jadi...........boleh dong...!!!".
Kata salah satu temannya teman saya.

Well, coba perhatikan ayat ini sampai faham.

"wahai orang orang yang beriman, janganlah dekat dekat dengan zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan jelek dan sejelek jeleknya jalan"
(QS. Al-Isro' 32).

Pertama,
yang dipanggill dalam ayat ini adalah khusus orang orang yang iman. Kenapa? . . .
karena kita sudah tahu bersama bahwa orang orang yang tidak iman tidak akan peduli tentang ayat ini. Maka terkhusus orang iman diingatkan masalah ini agar mereka terselamatkan dari perbuatan itu. Ini membuktikan kasih sayang Allah terhadap orang orang iman

Kedua,
dalam ayat ini Allah mengingatkan terhadap orang orang iman agar TIDAK MENDEKATI ZINA, artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang itu terjerumus dalam perbuatan zina jangan coba coba mendekatinya. Lalu , apa yang menyebabkan orang itu bisa terjerumus dalam perbuatan zina?....
Apakah dengan bermain bola kemudian menjadikan orang tersebut berzina?...
apakah dengan berlatih ASAD kemudian menjadikan orang tersebut berzina?...
apakah dengan latihan menjadi koki handal kemudian menjadikan orang tersebut berzina?. ...
Tentu semua itu sangat mustahil. "ya...g mungkin mas..!, moso' habis latihan bola teus zina, ya...g kuat....". Sentil teman temannya saya.
Lalu, apakah dengan pacaran kemudian menjadikan seseorang berzina?...
yup........itulah jawaban dan kenyataanya.

     Pacaran adalah sesuatu yang bisa menjadikan seseorang berbuat zina, baik itu zian mata, mulut, dan telinga, bahkan sampai zina haq. Jadi, secara tidak langsung ayat tersebut diatas merupakan LARANGAN PACARAN.

Masih adakah alasan lain untuk menghalalkan pacaran?...
jika mungkin masih ada maka bersiaplah dengan ancaman ini:

  "wahai orang orang islam, takutlah pada perbuatan zina karena didalamnya terdapat enam perkara, tiga perkara didunia dan tiga perkara diakhirot, adapun tiga didunia adalah hilangnya kewibawaan wajah, pendeknya umur, dan kekalnya kefakiran (amal). adapu tiga di akhirot adalah mendapat murkanya Allah yang maha barokah lagi maha luhur, jeleknya hitungan amal, dan siksaan neraka" 
(HR. Baihaqi)

PACARAN = Teman Akrabnya ZINA dan Gerbang Tol Menuju Neraka

Posted by Unknown  |  No comments




 

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسولهأما بعد



     Dalam Al-Qur'an maupun Al-Hadist manapun, tidak dijumpai hukum hukum yang membahas secara langsung masalah pacaran. Namun, Kalau membahas masalah Zina di Al-Qur'an maupun Al-Hadist pasti ada. Tapi taukah kamu bahwa PACARAN itu sama dengan ZINA?.......Nah lo....!!!!!

Perhatikan sabda Nabi ini :
"sesungguhnya Allah telah menulis bagian zina untuk Anak Adam, mau tidak mau (pasti) ia akan menjumpainya. Maka zinalah kedua matanya dengan pandangannya, dan zina lisannya dengan ucapannya, dan zinalah hatinya dengan mengangan angankannya, lalu Farjilah yang membenarkan dengan zina itu" (HR. Abu Daud)

     Kalau kita lebih memahami lagi tentang Hadist ini, maka terdapat suatu kesimpulan bahwa terjadinya Zina Haq (farji) berawal dari proses zina mata, mulut, dan telinga. kenapa? karena manusia bukanlah hewan. Hewan bisa melakukan zina tanpa harus proses pendekatan yang berarti. Namun, manusai membutuhkan itu. Manusia membutuhkan proses untuk bisa melakukan apa yang menjadi keinginannya, dan proses itulah yang dinamakan "PACARAN".

So, dalam konteks apakah orang mudah melakuakn zina mata, mulut, dan telinga?

Pernah melihat orang pacaran? . . .
atau mungkin anda pernah pacaran?. . .
Mampukah orang yang pacaran itu membatasi pandangannya untuk tidak melihat, mulutnya untuk tidak berbicara, telinganya untuk tidak mendengar?. . .
Apakah mereka mampu bertahan lama jika hanya diam membisu tanpa berbicara dengan pasangannya? . . .
apakah dinamakan PACARAN jika hanya membelakangi pasangannya tanpa memandang satu sama lainnya?. . .
Saya rasa itu hal yang sangat mustahil dilakukan oleh dua sejoli (tanpa ada hubungan Mahrom) ketika menjalin asmara. Bagaimanapun mereka PASTI melakukan apa yang menjadi larangan itu. kenapa? . . .
karena yang menjadi "Sutradara" diantara keduanya adalah Syaithon Laknat Jahannam, perhatikan Hadist dibawah ini :

"barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah menyepi dengan perempuan yang tidak bersama Mahromnya, kecuali yang ketiganya adalah Syaithon" (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdillah.)

Saudaraku sekalian, kita yang sudah diberi keimanan oleh Allah dituntut untuk menetapi agama Islam ini dengan segala hukum hukumnya secara Kaffah (semua). Tidaklah pantas bagi kita mencari alasan untuk menghalalkan sesuatu yang telah diharomkan oleh Allah, yaitu MENGHALALKAN ZINA DENGAN BERDALIH PACARAN.
"yang dilarang kan zina bukan pacaran, dan setahu saya dalam Al-Qur'an maupun dalam Al-Hadist tidak ada larangan pacaran. Jadi...........boleh dong...!!!".
Kata salah satu temannya teman saya.

Well, coba perhatikan ayat ini sampai faham.

"wahai orang orang yang beriman, janganlah dekat dekat dengan zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan jelek dan sejelek jeleknya jalan"
(QS. Al-Isro' 32).

Pertama,
yang dipanggill dalam ayat ini adalah khusus orang orang yang iman. Kenapa? . . .
karena kita sudah tahu bersama bahwa orang orang yang tidak iman tidak akan peduli tentang ayat ini. Maka terkhusus orang iman diingatkan masalah ini agar mereka terselamatkan dari perbuatan itu. Ini membuktikan kasih sayang Allah terhadap orang orang iman

Kedua,
dalam ayat ini Allah mengingatkan terhadap orang orang iman agar TIDAK MENDEKATI ZINA, artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang itu terjerumus dalam perbuatan zina jangan coba coba mendekatinya. Lalu , apa yang menyebabkan orang itu bisa terjerumus dalam perbuatan zina?....
Apakah dengan bermain bola kemudian menjadikan orang tersebut berzina?...
apakah dengan berlatih ASAD kemudian menjadikan orang tersebut berzina?...
apakah dengan latihan menjadi koki handal kemudian menjadikan orang tersebut berzina?. ...
Tentu semua itu sangat mustahil. "ya...g mungkin mas..!, moso' habis latihan bola teus zina, ya...g kuat....". Sentil teman temannya saya.
Lalu, apakah dengan pacaran kemudian menjadikan seseorang berzina?...
yup........itulah jawaban dan kenyataanya.

     Pacaran adalah sesuatu yang bisa menjadikan seseorang berbuat zina, baik itu zian mata, mulut, dan telinga, bahkan sampai zina haq. Jadi, secara tidak langsung ayat tersebut diatas merupakan LARANGAN PACARAN.

Masih adakah alasan lain untuk menghalalkan pacaran?...
jika mungkin masih ada maka bersiaplah dengan ancaman ini:

  "wahai orang orang islam, takutlah pada perbuatan zina karena didalamnya terdapat enam perkara, tiga perkara didunia dan tiga perkara diakhirot, adapun tiga didunia adalah hilangnya kewibawaan wajah, pendeknya umur, dan kekalnya kefakiran (amal). adapu tiga di akhirot adalah mendapat murkanya Allah yang maha barokah lagi maha luhur, jeleknya hitungan amal, dan siksaan neraka" 
(HR. Baihaqi)

00.13 Share:

0 komentar:

Jumat, 26 April 2013



  •  

    إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسولهأما بعد


     banyak hadits yang menerangkan kefadolan memakai sorban akan tetapi sebagian besar hadits yang dho'if bahkan maudlu'.seperti:

      عن جابر قال: قال رسول الله: ((رَكْعَتَانِ بِعِمامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِغَيْرِ عِمامَةٍ
    Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Shalat) dua rakaat dengan (memakai) sorban lebih baik dari (shalat) tujuh puluh rakaat tanpa (memakai) sorban”.

    Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Ahmad bin Shaleh asy-Syumumi, dia adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Dia adalah seorang pendusta”. Ibnu Hibban berkata: “Dia seorang syaikh yang pernah (tinggal) di Mekkah, dia suka memalsukan hadits”. Beliau juga berkata: “Dia selalu meriwayatkan hadits-hadits yang (sanadnya) terputus dari perawi-perawi yang terpercaya, dan hadits-hadits yang (merupakan) musibah besar (dusta dan palsu) dari perawi-perawi yang lemah, (maka) hadits-hadits yang diriwayatkannya wajib untuk dijauhi…” Akan tetapi memakai sorban secara singkat bukan adat orang arab saja, tapi merupakan sunnah Nabi saw, Rasulullah saw.

    semisal: dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain). 

    Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Jabir dikemukakan: “Nabi saw memasuki kota Makkah pada waktu Fathu Makkah beliau mengenakan sorban (‘imamah) hitam.”
    (HR. At-Tarmidzi. Hadits ini diriwayatan oleh Muhammad bin Basyar, dari ‘Abdurrahman bin Mahdi, dari Hammad bin Salamah. Hadits ini pun diriwayatkan pula oleh Mahmud bin Ghailan, dari Waki’, dari Hammad bin Salamah, dari Abi Zubair, yang bersumber dari Jabir ra.)

    ‘Amr bin Huraits berkata: “Aku melihat sorban hitam di atas kepala Rasulullah saw.”
    (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Umar, dari Sufyan, dari Musawir al-Waraq, dari Ja’far bin ‘Amr bin Huraits, yang bersumber dari bapaknya.)

    Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Umar ra. dikemukakan :
    “Apabila Nabi memakai sorban, maka dilepaskannya ujung sorbannya di antara kedua bahunya.” Kemudian Nafi’ berkata: “Ibnu ‘Umar juga berbuat begitu.” ‘Ubaidullah berkata: “Kulihat al-Qasim bin Muhammad dan Salim, keduanya juga berbuat demikian.”
    (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Harun bin Ishaq al Hamdzani, dari Yahya bin Muhammad al-Madini, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Nafi’, yang bersumber dari Ibnu ‘Umar.)

    Ibnu ‘Abbas ra. mengemukakan:
    “Sesungguhnya Nabi Muhammad khotbah di hadapan ummat. Waktu itu beliau mengenakan sorban, dan sorbannya terkena minyak rambut.” (HR. At-Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Yusuf bin ‘Isa, dari Waki’, dari Abu Sulaiman, yaitu ‘Abdurrahman bin Ghasail, dari Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas)

    para sahabat sujud diatas Surbannya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).
    Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

    dan masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif itu yg disebutkan, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : “Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku” (Shahih Bukhari).

dalil-dalil keutamaan memakai Surban

Posted by Unknown  |  No comments



  •  

    إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسولهأما بعد


     banyak hadits yang menerangkan kefadolan memakai sorban akan tetapi sebagian besar hadits yang dho'if bahkan maudlu'.seperti:

      عن جابر قال: قال رسول الله: ((رَكْعَتَانِ بِعِمامَةٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِغَيْرِ عِمامَةٍ
    Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Shalat) dua rakaat dengan (memakai) sorban lebih baik dari (shalat) tujuh puluh rakaat tanpa (memakai) sorban”.

    Hadits ini adalah hadits palsu, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Ahmad bin Shaleh asy-Syumumi, dia adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Dia adalah seorang pendusta”. Ibnu Hibban berkata: “Dia seorang syaikh yang pernah (tinggal) di Mekkah, dia suka memalsukan hadits”. Beliau juga berkata: “Dia selalu meriwayatkan hadits-hadits yang (sanadnya) terputus dari perawi-perawi yang terpercaya, dan hadits-hadits yang (merupakan) musibah besar (dusta dan palsu) dari perawi-perawi yang lemah, (maka) hadits-hadits yang diriwayatkannya wajib untuk dijauhi…” Akan tetapi memakai sorban secara singkat bukan adat orang arab saja, tapi merupakan sunnah Nabi saw, Rasulullah saw.

    semisal: dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain). 

    Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Jabir dikemukakan: “Nabi saw memasuki kota Makkah pada waktu Fathu Makkah beliau mengenakan sorban (‘imamah) hitam.”
    (HR. At-Tarmidzi. Hadits ini diriwayatan oleh Muhammad bin Basyar, dari ‘Abdurrahman bin Mahdi, dari Hammad bin Salamah. Hadits ini pun diriwayatkan pula oleh Mahmud bin Ghailan, dari Waki’, dari Hammad bin Salamah, dari Abi Zubair, yang bersumber dari Jabir ra.)

    ‘Amr bin Huraits berkata: “Aku melihat sorban hitam di atas kepala Rasulullah saw.”
    (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Umar, dari Sufyan, dari Musawir al-Waraq, dari Ja’far bin ‘Amr bin Huraits, yang bersumber dari bapaknya.)

    Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Umar ra. dikemukakan :
    “Apabila Nabi memakai sorban, maka dilepaskannya ujung sorbannya di antara kedua bahunya.” Kemudian Nafi’ berkata: “Ibnu ‘Umar juga berbuat begitu.” ‘Ubaidullah berkata: “Kulihat al-Qasim bin Muhammad dan Salim, keduanya juga berbuat demikian.”
    (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Harun bin Ishaq al Hamdzani, dari Yahya bin Muhammad al-Madini, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Nafi’, yang bersumber dari Ibnu ‘Umar.)

    Ibnu ‘Abbas ra. mengemukakan:
    “Sesungguhnya Nabi Muhammad khotbah di hadapan ummat. Waktu itu beliau mengenakan sorban, dan sorbannya terkena minyak rambut.” (HR. At-Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Yusuf bin ‘Isa, dari Waki’, dari Abu Sulaiman, yaitu ‘Abdurrahman bin Ghasail, dari Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas)

    para sahabat sujud diatas Surbannya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).
    Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

    dan masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif itu yg disebutkan, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : “Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku” (Shahih Bukhari).

04.48 Share:

0 komentar:

Kamis, 25 April 2013







إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا،

 من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا

 شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أما بعد





Inilah kuburan yang benar-benar syar’i dan dicontohkan sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah. Tanpa dibangun / dikeramik, ditulisi, ditinggikan kecuali hanya sejengkal, dan tanpa disembah atau diagungkan. Mudah-mudahan calon rumah kita seperti ini semua, tidak seperti kebanyakan kuburan yang ada di sekeliling  kita.
Padahal kuburan yang ada di foto ini adalah kuburannya orang-orang yang memiliki keutamaan di sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum di Baqi’, Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari kuburannya di tempat kita. Seperti inilah yang dapat membuat Islam bertambah Kejayaannya. Subhanallah




Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ


“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)


Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)


Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)
 Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”




Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: 
“Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya… termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: 
“Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”

Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata:
“Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”

   


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)


Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.

    


“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?

Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.

Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada
pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun
88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan
memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.

Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky:
 “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78
Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86
Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.

Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi saw dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk
berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya
jumlah kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka
pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”

Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami berkunjung kesana, kami lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini
dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?

Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak meliahat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari uatara ke
selatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”

[Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari
Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83]



Kuburan syar'i

KUBURAN YANG NYUNNAH DAN SYAR’I

Posted by Unknown  |  1 comment







إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا،

 من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له .وأشهد أن لا إله إلا الله وحده .لا

 شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله أما بعد





Inilah kuburan yang benar-benar syar’i dan dicontohkan sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah. Tanpa dibangun / dikeramik, ditulisi, ditinggikan kecuali hanya sejengkal, dan tanpa disembah atau diagungkan. Mudah-mudahan calon rumah kita seperti ini semua, tidak seperti kebanyakan kuburan yang ada di sekeliling  kita.
Padahal kuburan yang ada di foto ini adalah kuburannya orang-orang yang memiliki keutamaan di sisi Allah, yaitu kuburannya para Shahabat Nabi radhiyallahu anhum di Baqi’, Madinah. Kuburannya tidak lebih bagus dari kuburannya di tempat kita. Seperti inilah yang dapat membuat Islam bertambah Kejayaannya. Subhanallah




Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ


“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan.” (HR. Muslim no. 969)


Fadhalah bin Ubaid radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan).” (HR. Muslim no. 968)


Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)
 Al-Imam At-Tirmidzi dan yang lain meriwayatkan dengan sanad yang shahih dengan tambahan lafadz:وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ“dan ditulisi.”




Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menerangkan: 
“Ketahuilah bahwa kaum muslimin yang dahulu dan akan datang, yang awal dan akhir, sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah bersepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya… termasuk perkara bid’ah, yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: 
“Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, sedangkan kematian bukanlah tempat salah satu di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat. Perawi berkata dari Thawus: ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat’.”

Beliau rahimahullahu juga berkata:
“Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata pula: “Aku membenci ini berdasarkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar…”
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh rahimahullahu berkata:
“Al-Imam Nawawi rahimahullahu menegaskan dalam Syarh Al-Muhadzdzab akan haramnya membangun kuburan secara mutlak. Juga beliau sebutkan semisalnya dalam Syarh Shahih Muslim.”

   


Dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
“Bahwa Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam telah dibuatkan untuk beliau liang lahad dan diletakkan di atasnya batu serta ditinggikannya di atas tanah sekitar satu jengkal” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahiihnya no. 2160 dan al Baihaqi III/410, hadits ini sanadnya hasan)


Dari Sufyan at Tamar, dia berkata,
“Aku melihat makam Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dibuat gundukkan seperti punuk” (HR. al Bukhari III/198-199 dan al Baihaqi IV/3)
Ibnul Qayyim berkata dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, “Dan makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam digunduki tanah seperti punuk yang berada di tanah lapang merah. Tidak ada bangunan dan tidak juga diplester. Demikian itu pula makam kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar)”
Hal tsb menunjukkan bhw kuburan Nabi tidaklah dibangun seperti bangunan sekarang ini pada awalnya. Jadi dibangunnya kuburan Nabi bukanlah hujjah yg dpt dipakai, kecuali jika yg membangunannya tsb adalah para shahabat nabi dan atas ijma mrk. Wallahu a’lam.

    


“Kuburan Nabi saw ada di dalam Masjid beliau, yang dapat disaksikan hingga saat ini. Kalau memang hal ini dilarang, lalu mengapa beliau dikuburkan disitu ?

Jawabannya:
…Keadaan yang kita saksikan pada jaman sekarang ini tidak seperti yang terjadi pada jaman sahabat. Setelah beliau wafat, mereka menguburkannya didalam biliknya yang letaknya bersebelahan dengan masjid, dipisahkan oleh dinding yang ada pintunya. Beliau biasa masuk masjid lewat pintu itu.

Hal ini telah disepakati oleh semua ulama, dan tidak ada
pertentangan diantara mereka. Para sahabat mengubur jasad beliau didalam biliknya, agar nantinya orang-orang sesudah mereka tidak menggunakan kuburan beliau sebagai tempat untuk shalat, seperti yang sudah kita terangkan dalam hadits ‘Aisyah dibagian muka. Tapi apa yang terjadi dikemudian hari di luar perhitungan mereka. Pada tahun
88 Hijriah, Al Walid bin Abdul Malik merehab masjid Nabi dan
memperluas masjid hingga kekamar ‘Aisyah. Berarti kuburan beliau masuk ke dalam area masjid. Sementara pada saat itu sudah tidak ada satu sahabatpun yang masih hidup, sehingga dapat menentang tindakan Al Walid ini seperti yang diragukan oleh sebagian manusia.

Al Hafizh Muhamad Abdul-Hady menjelaskan didalam bukunya Ash-Sharimul Manky:
 “Bilik Rasulullah masuk dalam masjid pada jaman Al Walid bin Abdul Malik, setelah semua sahabat beliau di Madinah meninggal. Sahabat terakhir yang meninggal adalah Jabir bin Abdullah. Ia meninggal pada jaman Abdul Malik, yang meninggal pada tahun 78
Hijriah. Sementara Al Walid menjadi khalifah pada tahun 86
Hijriah, dan meninggal pada tahun 96 Hijriah. Rehabilitasi masjid dan memasukkan bilik beliau kedalam masjid, dilakukan antara tahun-tahun itu.

Abu Zaid Umar bin Syabbah An Numairy berkata di dalam buku karangannya Akhbarul-Madinah: “Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah pada tahun 91 Hijriah, ia meribohkan masjid lalu membangunnya lagi dengan menggunakan batu-batu yang diukir, atapnya terbuat dari jenis kayu yang bagus. Bilik istri-istri Nabi saw dirobohkan pula lalu dimasukkan kedalam masjid. Berarti kuburan beliau juga masuk kedalam masjid.”
Dari penjelasan ini jelaslah sudah bahwa kuburan beliau masuk menjadi bagian dari masjid nabawi, ketika di Madinah sudah tidak ada seorang sahabatpun. Hal ini ternyata berlainan dengan tujuan saat mereka menguburkan jasad Rasulullah di dalam biliknya.
Maka setiap orang muslim yang mengetahui hakikat ini, tidak boleh berhujjah dengan sesuatu yang terjadi sesudah meninggalnya para sahabat. Sebab hal ini bertentangan dengan hadits-hadits shahih dan pengertian yang diserap para sahabat serta pendapat para imam.
Hal ini juga bertentangan dengan apa yang dilakukan Umar dan Utsman ketika meluaskan masjid Nabawi tersebut. Mereka berdua tidak memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Maka dapat kita putuskan, perbuatan Al Walid adalah salah. Kalaupun ia terdesak untuk meluaskan masjid Nabawi, toh ia bisa meluaskan dari sisi lain sehingga tidak mengusik kuburan beliau. Umat bin Khattab pernah mengisyaratkan segi kesalahan semacam ini. Ketika meluaskan masjid, ia mengadakan perluasan di sisi lain dan tidak mengusik kuburan beliau. Ia berkata: “Tidak ada alasan untuk
berbuat seperti itu.” Umar memberi peringatan agar tidak merobohkan masjid, lalu memasukkan kuburan beliau ke dalam masjid.

Karena tidak ingin bertentangan dengan hadits dan kebiasaan khulafa’urrasyidin, maka orang-orang Islam sesudah itu sangat berhati-hati dalam meluaskan masjid Nabawi. Mereka mengurangi kontroversi sebisa mungkin. Dalam hal ini An-Nawawi menjelaskan di dalam Syarh Muslim: “Ketika para sahabat yang masih hidup dan tabi’in merasa perlu untuk meluaskan masjid Nabawi karena banyaknya
jumlah kaum muslimin, maka perkuasan masjid itu mencapai rumah Ummahatul-Mukminin, termasuk bilik ‘Aisyah, tempat dikuburkannya Rasulullah dan juga kuburan dua sahabat beliau, Abubakar dan Umar.
Mereka membuat dinding pemisah yang tinggi disekeliling kuburan, bentuknya melingkar. Sehingga kuburan tidak langsung nampak sebagai bagian dari masjid. Dan orang-orangpun tidak shalat ke arah kuburan itu, sehingga merekapun tidak terseret pada hal-hal yang
dilarang.

Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rajab yang menukil dari l-Qurthuby, menjelaskan: “Ketika bilik beliau masuk ke dalam masjid, maka
pintunya di kunci, lalu disekelilingnya dibangun pagar tembok yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar rumah beliau tidak dipergunakan untuk acara-acara peringatan dan kuburan beliau dijadikan patung sesembahan.”

Dapat kami katakan: Memang sangat disayangkan bangunan tersebut sudah didirikan sejak berabad-abad di atas kuburan Nabi saw. Disana ada kubah menjulang tinggi berwarna hijau, kuburan beliau dikelilingi jendela-jendela yang terbuat dari bahan tembaga, berbagai hiasan dan tabir. Padahal semua itu tidak diridhai oleh orang yang dikuburkan disitu, yaitu Rasulullah saw. Bahkan ketika kami berkunjung kesana, kami lihat disamping tembok sebelah utara terdapat mihrab kecil. Ini merupakan isyarat bahwa tempat itu dikhususkan untuk shalat dibelakang kuburan . Kami benar-benar heran. Bagaimana bisa terjadi paganisme yang sangat mencolok ini
dibiarkan begitu saja oleh suatu negara yang mengagung-agungkan masalah tauhid ?

Namun begitu kami mengakui secara jujur, selama disana kami tidak meliahat seorangpun mendirikan shalat didalam mihrab itu. Para penjaga yang sudah ditugaskan disana mengawasi secara ketat agar mencegah manusia yang datang kesana dan melakukan suatu yang bertentangan dengan syariat disekitar kuburan Nabi saw. Ini merupakan suatu yang perlu disyukuri atas sikap pemerintah Saudi.
Tetapi ini belum cukup dan tidak memberikan jalan keluar yang tuntas. Tentang hal ini sudah lama kami katakan di dalam buku Ahkamul Jana’ iz wa Bida’uha: “Seharusnya masjid Nabawi dikembalikan ke jamannya semula, yaitu dengan membuat tabir pemisah antara kuburan dengan masjid, berupa tembok yang membentang dari uatara ke
selatan. Sehingga setiap orang yang masuk ke masjid tidak dikejar oleh macam-macam pertentangan yang tidak diridhai pendirinya. Kami merasa yakin, ini merupakan kewajiban pemerintah Saudi, kalau ia masih ingin menjaga tauhid yang benar. Andaikata ada rencana perluasan kembali, maka bisa melebar kesebelah barat atau sisi lainnya. Tapi ketika diadakan perbaikan lagi, ternyata masjid Nabawi tidak dikembalikan ke bentuknya yang pertama pada jaman sahabat.”

[Oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, diambil dari
Buku "Peringatan ! Menggunakan Kuburan Sebagai Masjid" Bab. IV/Hal.50-83]



19.37 Share:

1 komentar:

Get updates in your email box
Complete the form below, and we'll send you the best coupons.

Deliver via FeedBurner

Labels

Text Widget

Artikel Lain nya

back to top